Wabah Covid 19, Restrukturisasi Kredit, Dan Penyelamatan Sektor Riil

6 June 2020 Banking Strategy / Credit Risk

Presiden Jokowi telah mengumumkan 9 Kebijakan Ekonomi untuk mengatasi dampak buruk wabah Covid 19 terhadap perekonomian. Kebijakan itu meliputi realokasi anggaran, jaminan ketersediaan bahan pokok, program padat karya tunai, subsidi prakerja, subsidi pajak penghasilan, relaksasi kredit. Menteri Keuangan, BI, dan OJK juga sudah memaparkan tindak lanjut dari kebijakan pemerintah tersebut.

Menurut saya dalam situasi penuh tekanan seperti sekarang ini, otak atik kebijakan ekonomi makro, moneter, dan fiskal mempunyai batas maksimal kelenturannya. Bagaimanapun jika ditarik terlalu kencang akan terjadi “overstretched’ hingga menjadi tidak efektif lagi, dan biayanya terlalu mahal. Yang jelas tidak banyak manfaatnya.
Lebih ampuh kebijakan-kebijakan yang lebih mikro, yang lebih sektoral, yang langsung dinikmati pelaku usaha. Kebijakan restrukturisasi kredit, penurunan bunga, dan moratorium cicilan kredit sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan sektor riil. Persoalannya beberapa kebijakan yang berkaitan dengan sektor riil yang paling ditunggu oleh para pelaku usaha, yaitu relaksasi kredit itu, ternyata juklak dan juknis belum ada. Bank-bank tampaknya juga belum siap menerapkan kebijakan itu.

Di daerah-daerah, di cabang- cabang bank umum dan lembaga keuangan, petugas selalu menjawab dengan kalimat yang seragam kepada debitur yang meminta keringanan. Jawabannya kurang lebih bunyinya:
Kami belum mendapatkan arahan dari Kantor Pusat. Anda tetap diminta mencicil dan membayar kewajiban tepat waktu sesuai tanggal jatuh tempo. Padahal jika sektor riil diibaratkan orang yang sedang tenggelam, air sudah setinggi leher. Betapa frustrasinya mereka ketika mendapat jawaban dari pegawai bank di Cabang. Kadin, HIPMI, PHRI, Apindo dan asosiasi pelaku usaha lain sudah mendesak perbankan untuk segera melakukan restrukturisasi kredit.
Bagaimana dengan negara-negara lain? Bagaimana mereka menyelamatkan sektor riil mereka?
Kita tidak perlu jauh-jauh belajar ke negeri China. Kita cukup belajar ke negeri terdekat kita, negara jiran Malaysia dan Thailand.

Bank- bank di Thailand memberlakukan paket kebijakan ” The Debt- relief package” termasuk moratorium cicilan kredit selama setahun untuk para debitur. Moratorium atau “grace periode” diberikan kepada debitur yang berusaha di sektor pariwisata, ekspor impor dan pengusaha eceran (retailer). Yang termasuk sektor pariwisata ialah perhotelan, restoran, maskapai penerbangan, dan lain sebagainya. Dalam kebijakan ini debitur perorangan yang mengambil kredit rumah dan terdampar Covid 19, juga diberikan keringanan moratorium 1 tahun.
Yang menarik Paket Kebijakan ” The Debt-relief Package” ini diumumkan oleh Ketua Thai Bankers Association, kalau di Indonesia sama dengan Perbanas.

Rupanya asosiasi perbankan di Thailand sangat sigap menindaklanjuti kebijakan Pemerintah/Bank Sentralnya dalam upaya menyelamatkan sektor riil yang terkapar karena wabah Covid 19. Semestinya Perbanas (kalau masih ada) juga bisa segera mengumpulkan anggota nya agar bisa segera mengeksekusi kebijakan moratorium cicilan kredit selama setahun. Dengan demikian sektor riil bisa diselamatkan.
Sementara itu Bank Negara Malaysia juga mengumumkan kebijakan untuk memberikan moratorium secara otomatis selama 6 bulan untuk semua kredit, kecuali kartu kredit. Dibandingkan Indonesia dan Thailand yang memberikan moratorium setahun, Malaysia hanya 6 bulan. Tetapi kebijakan Malaysia lebih unggul karena berlaku otomatis. Artinya debitur tidak perlu mengajukan permohonan restrukturisasi. Kebijakan ini menurut petinggi Bank Negara Malaysia adalah untuk meringankan arus kas para debitur UMKM yang terkena dampak buruk wabah Covid 19.

Dari perbandingan kebijakan restrukturisasi kredit di 3 negara tersebut, sebetulnya kurang lebih sama. Tetapi seperti semua penanganan krisis dari krisis penyelamatan orang yang terkena serangan jantung, krisis kebakaran, hingga krisis ekonomi akibat wabah Covid 19 ini, kunci keberhasilannya adalah tindakan cepat (prompt action). Semakin cepat kita melakukan restrukturisasi kredit debitur yang terdampak Covid 19, akan semakin cepat kita bisa menyelamatkan sektor riil. Dan tentunya juga akan semakin cepat kita menyelamatkan perekonomian.
Saya tergolong generasi beruntung yang pernah mengalami krisis ekonomi 97/98 dan Krisis Covid 19.
Ada hal yang sangat mengkhawatirkan saya karena ada persamaan respon dari bangsa kita ketika ada ancaman krisis. Apakah persamaan itu? Kita bersikap jumawa, percaya diri yang berlebihan, dan terlalu yakin bahwa bangsa Indonesia itu berbeda dengan bangsa lain.

Menjelang krisis ekonomi 97/98, ketika Thailand dan negara jiran lainnya sudah dihantam krisis, hampir semua kalangan di Indonesia: pejabat Pemerintah, ahli ekonomi, pengamat ekonomi, bankir, pengusaha, sangat yakin fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat, Indonesia bukan Thailand. Apa hasil dari kesombongan ini? Kita dihantam krisis yang sangat dalam, biaya krisis yang harus dipikul Indonesia adalah Rp 640 trilyun lebih, nomor dua terbesar setelah Brazil.
Sekarang coba kita bandingkan reaksi masyarakat Indonesia ketika krisis Covid 19 sudah di depan pintu kita. Banyak kalangan yang menyepelekan Covid 19 ini. Komentar-komentar yang bertebaran di media seperti: Sakit karena Covid 19 bisa sembuh sendiri, kita aman karena hidup di negara tropis, virus akan mati kena matahari, kita tidak akan terkena virus karena kita bangsa yang suka membaca doa qunut, jangan takut Corona, takutlah kepada Tuhan, dan lain-lain.
Sikap jumawa, menganggap enteng dan abai seperti itu saya khawatir akan menjadikan Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah korban yang banyak, dan biaya penanganan krisis Covid 19 ini bisa nomor 2 terbesar setelah China. Naudzubillahi min dzalik. Amit- amit jabang bayi.

Keberhasilan Pemerintah dan kita semua menangani pandemi Covid 19 ini dalam jangka pendek dapat menekan jumlah korban meninggal. Namun dalam jangka menengah sampai panjang, dapat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan dunia usaha untuk bangkit kembali. Selain itu keberhasilan bangsa kita menanggulangi krisis karena wabah Corona, akan meningkatkan kepercayaan dunia internasional, memperbaiki reputasi dan persepsi dunia internasional kepada negara kita. Sekali kepercayaan itu kita dapat, maka turis mancanegara akan mulai berdatangan kembali ke negara kita, Jamaah haji dan umroh kita akan masuk daftar negara pertama yang diperbolehkan masuk kembali ke Arab Saudi. Dan dengan demikian upaya penyelamatan perekonomian kita dari dampak buruk wabah Corona akan semakin menampakkan hasil.

Ayo bung, bertindak cepat.

SIGIT PRAMONO
Ketua Umum Perbanas 2006-2016
28 Maret 2020